Photobucket

Selasa, 14 Desember 2010

Wisata Sejarah Klenteng Hian Thian Siang Tee Welahan

0 komentar


Hian Thian Siang Tee Merupakan  sebuah nama yang diberikan untuk klenteng yang berada didesa Welahan Kecamatan Welahan Kabupaten Jepara. Dari pusat kota Jepara, jaraknya 24 km dan Klenteng ini sudah menjadi salah satu aset wisata sejarah di kabupaten Jepara. Klenteng menjadi pusat keramaian yang dihadiri oleh ratusan atau bahkan ribuan pengunjung dari daerah sekitar maupun luar daerah. Klenteng welahan merupakan simbol dari akulturasi budaya masyarakat keturunan tionghoa dengan masyarakat lokal. Keunikan dari klenteng adalah disamping menjadi tempat ritual golongan Kong hu chu, juga menjadi tempat tujuan orang yang beragama lain untuk mendapatkan berkah misalnya: di mudahkan risqi nya, mencari codoh, dll. Klenteng hian thian siang tee terdiri dari dua lokasi yaitu sebelah utara adalah tempat bersemayam dewa langit (Hian Thian Siang Tee) dan sebelah selatan bersemayam dewa bumi. Orang yang berkunjung di klenteng ini bukan saja masyarakat sekitar Jepara melainkan dari jawa maupun luar jawa. Bahkan pada tahun 1940-an orang Belanda seperti Regent Van Jepara dan asisten Resident Van Kudus juga pernah berkunjung ke klenteng welahan ini. Ada juga yang mengatakan bahwa klenteng ini merupakan klenteng tertua di Indonesia.

Sejarah Klenteng Hian Thian Siang Tee.

Klenteng Hian Thian Siang Tee pada awalnya dibangun sebagai tempat penyimpanan pusaka tiongkok. Namun, dalam perkembangannya Klenteng ini bertambah fungsi menjadi tempat untuk memuja roh, abu para leluhur dan memuja para dewa. Dalam bukunya "Zhuang Yan De Shi-Jie" atau dunia yang Khidmat, Prof. Ruan Changrui mengatakan: pemujaan roh adalah gejala peradaban yang paling umum dalam masyarakat manusia (dewa-dewi tridharma, :9-10).
Sekitar 300 tahun yang lalu, Klenteng Hian Thian Siang Tee dibangun oleh seorang ahli pengobatan dari daratan tiongkok yaitu Tan Siang Boe bersama dengan kakakny Tan Siang Djie. Sebelum Tan Siang Boe datang dan tiba di Welahan, saudara tuanya sudah mondok di rumah Liem Tjoe Tien. Dalam perjalanannya menuju indonesia Tan Siang Boe diberi tanda mata oleh seorang tasugagu yang ditolongnya.
beberapa waktu lamanya, Tan Siang Boe menetap dengan kakaknya di Welahan. Pada suatu hari beliau pergi bekerja ditempat lain daerah, mengingat keselamatan akan barang yang berisi pusaka kuno tersebut, maka Tan Siang Boe menitipkan barang tersebut kepada kakaknya. Oleh Tan Siang Djie barang tersebut dititipkan kepada Liem Tjoe Tien (sang pemilik rumah) yang selalu di simpan diatas loteng rumah yang didiaminya tanpa ada yang mengetahui barang pusaka apa yang ada didalamnya.
Selama dalam penyimpanan setiap tanggal tiga yaitu hari lahir "Sha Gwe" yakni hari Imlek Seng Tam Djiet dari Hian Thian Siang Tee, barang pusaka tersebut mengeluarkan daya gaib (cahaya api) seperti barang terbakar, sewaktu-waktu keluarlah ular naga dan kura-kura yang sangat menakjubkan. Karena kejadian itu, maka tan siang boe dipanggil kembali ke Welahan untuk membuka dan melihat isi barang pusaka kuno tiongkok itu. Setelah mengetahui isi barang pusaka itu orang-orang seisi rumah percaya bahwa pusaka kuno itu merupakan wasiat peninggalan dari Paduka Hian Thiang Siang Tee, maka dipujalah pusaka kuno tiongkok itu menurut adat leluhur. Untuk merawat dan melestarikan pusaka kuno tiongkok tersebut, maka Tan Siang Boe bersama kakaknya mendirikan tempat sembahyang yang disebut Klenteng. Menurut keterangan bahwa satu-satunya pusaka tiongkok yang pertama kali di indonesia yang dibawa oleh Tan Siang Boe, pusaka tersebut adalah yang dibawa dan tersimpan di Welahan, sehingga ada yang mengatakan bahwa keberadaan Klenteng di Welahan adalah yang tertua di Indonesia

Minggu, 12 Desember 2010

Panorama Alam Pantai Bandengan

0 komentar

Pantai Tirta Samudra Bandengan

Jepara merupakan sebuah kota yang terkenal akan ukiranya. Tapi di balik itu semua kota ukir ini mempunyai obyek wisata alam yang elok akan keindahannya, yaitu Pantai Tirta Samudra atau yang dikenal dengan Pantai Bandengan. Pantai ini berada di desa Bandengan tepatnya 5 km sebelah utara kota Jepara. Dulu Raden Ajeng Kartini semasa kecilnya juga sering berwisata ke Pantai Bandengan ini. Saat masih berusia remaja, Kartini dilahirkan dan dibesarkan di Jepara. Dalam catatan sejarah, pantai tersebut merupakan tempat yang menarik yang menjadi kenangan manis buat putri Bupati Jepara pada masa penjajahan Belanda dulu. Gadis yang lincah dengan pangilan Trinil ini semasa kecilnya sering sekali bermain ke pantai ini bersama bangsawan Hindia Belanda Yang menarik dari Pantai Tirta Samudra adalah hamparan pepohonan yang rimbun dan hijau disekitar pantai. Tentu ini yang membuat suasana pantai bandengan ini terasa begitu sejuk dan nyaman serta jernihnya air laut dan juga pasir putih dipesisir pantai bandengan ini seakan tak mau kalah dengan keindahan pantai-pantai di indonesia lainnya.
Selain itu anda juga dapat berkeliling pantai dengan menyewa perahu yang siap mengajak anda untuk berkeliling pantai dengan menyewa perahu yang siap mengajak anda berkeliling pantai untuk menikmati keindahan alam disekitarnya. Tak hanya itu saja, anda juga bisa mengunjungi sebuah pulau kecil ditengah laut dari pantai bandengan, pulau itulah adalah Pulau Panjang. Di pulau itu terdapat kekayaan alam serta dapat melihat Flora dan Fauna serta terumbu karangnya yang menarik.

Pasir Putih Pantai Bandengan

Jika kita sedang berwisata alam disebuah pantai kebanyakan yang mempunyai daya tarik bagi wisatawan adalah pasir putihnya. Tak mau kalah dengan pantai-pantai yang lain, di pantai bandengan ini anda dapat menikmati panorama pasir putih dan pantai yang jernih. Pantai ini merupakan salah satu pantai yang memilik struktur pantai yang landai dan air yg jernih nan bersih. Ini cocok sekali untuk menjadi tempat wisata pantai, misalnya berenang, bermain volly pantai atau hanya sekedar berkeliling di pinggir pantai. Apalagi dengan membawa seorang pujaan hati, sungguh pemandangan pantai yang menambah keromantisan.

Keindahan Sunset di Pantai Bandengan

Setelah menikmati kekayaan alam dipantai tirto samudra serta berbagai permainan yang menyenangkan seperti berenang, bermain volley pantai di hamparan pasir putih dan berkeliling pantai dengan naik perahu hingga melelahkan. Saat menjelang senja tiba rasa lelah itu akan terobati dengan menikmati sebuah pertunjukan alam yang begitu memukau di Panta Tirto Samudra ini. Ini merupakan sebuah pertunjukan alam yang sangat menakjubkan, pertunjukan itu adalah proses terbenamnya matahari atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Sunset”. Anda dapat mengagumi keindahan matahari saat menuju perhentiannya di senja hari serta dapat menikmati pantulan cahaya matahari yang meredup terlihat di permukaan air laut dengan alunan irama ombak yang tenang. Momen saat-saat seperti ini sangat cocok sekali bila berduaan dengan sang pujaan hati sambil bersandar di gazebo dipesisir pantai. Anda juga dapat menikmati panorama matahari terbenam ini sambil menikmati hidangan yang disajikan direstoran yang ada dibibir pantai. Banyak restoran – restoran yang menyediakan makanan laut, salah satu restoran yang terkenal dipantai bandengan ini adalah Sunset Beach Restorant yang pemiliknya dari warga Italia. Disini anda bisa menikmati Pizza, Sea Food, dan Makanan Indonesia

Wisata Religi Situs Mantingan Jepara

0 komentar
Masjid Mantingan Jepara.
Situs Mantingan terdiri atas sebuah bangunan Masjid dan kompleks Makam yang Arsitekturnya sangat berbeda dengan arsitektur Masjid dan Makam Islam pada umumnya. Situs ini terletak 5 KM arah Selatan dari pusat Kota Jepara, tepatnnya di Desa Mantingan Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara, Sebuah bangunan yang menyimpan peninggalan kuno Islam dan menjadi salah satu asset Wisata Religi dan Sejarah di Jepara, Di mana di sana berdiri megah Sebuah Masjid yng di bangun Oleh seorang Islamik yaitu pangeran Hadlirin suami Ratu Kalinyamat yang di jadikan sebagai Pusat aktivitas penyebaran Agama Islam di pesisir Utara Pulau Jawa dan merupakan Masjid ke dua setelah Masjid Agung Demak, selain itu keberadaan situs ini tidak dapat di lepaskan dengan sejarah Kota Jepara yang berkuasa pada Tehun 1536-1549. Setelah beliau wafat kemudian di gantikan oleh Istrinya yaitu Ratu Kalinyamat Dalam Kurun Waktu 1549-1579.Di atas telah di sebutkan bahwa masjid mantingan merupakan masjid kuno kedua setelah Masjid Agung Demak, yang di bangun pada Tahun 1481 Saka atau Tahun 1559 Masehi. Berdasarkan dari CONDRO SENGKOLO yang terukir pada sebuah Mighrab Masjid Mantingan berbunyi "RUPA BRAHMANA WANASARI" oleh R. Muhayat Syeh Sultan Aceh yang bernama R. Tohyib. Pada awalnya R. Thoyib yang di lahirkan Di Aceh ini menimba Ilmu ke Tanah Suci dan Negeri Cina (Campa) Untuk berda'wah Islamiyahnya, Dan karma kemampuan dan kepandaiannya beliau pindah Ke Tanah Jawa (Jepara) Raden Thoyib Menikah Dengan Ratu Kalinyamat (Retno Kencono) Putri Sultan Trenggono Sultan Kerajaan Demak Saat itu, yang akhirnya beliau mendapat Gelar "Sultan Hadlirin" dan sekaligus di nobatkan sebagai Adipati Jepara (Penguasa Jepara), Sampai Wafat dan di makamkan di Situs Mantingan Jepara. Di makam inilah Pangeran Hadlirin (Sunan Mantingan), Ratu Kalinyamat, Patih Sungging Badarduwung Seorang pati keturunan Cina yang menjadi kerabat Sultan Hadlirin bernama CIE GWI GWAN dan sahabat lainya di semayamkan.

Keberadaan Dan Kegunaan Situs Mantingan Dari awal Di Bangun Sampai Sekarang.
Situs Mantingan khususnya pada makam Manitingan sampai sekarang masih di anggap sakral dan mempunyai tuah bagi masyarakat Jepara dan sekitarnya. Makam yang selalu ramai di kunjungi pada saat "Khool" untuk memperingati wafatnya Sunan Mantingan berikut upacara "Ganti Luwur" atau (Ganti Kelambu) ini di selenggarakan setiap satu tahun sekali pada tanggal 17 Robiul Awal atau 9 April (Sehari sebelum peringatan Hari Jadi Kota Jepa). Adapun kepercayaan lain seperti Buah Pace di sekitar Makam yang mana bila di Konsumsi pasangan yang belum punya keturunan maka atas izin Allah pasangan tersebut akan segera di keruniai keturunan dan masih ada banyak keunikan- keunikan lain.


Situs Mantingan sendiri berada sangat strategis dan nyaman, setelah Kami mendapatkan data dari Juru Kunci Situs Mantingan berawal dengan berdirinya pesanggrahan Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat, di mantingan pesanggrahan ini berfungsi sebagai tempat peristirahatan sekaligus tempat menyepi atau tirakat guna mendekatkan diri kepada Tuhan yang di lengkapi dengan sebuah Masjid, oleh sebab itu masyarakat sekitar masjid itu kemudian di kenal dengan sebutan Masjid Mantingan dari tataran tutur masyarakat Mantingan di peroleh data pula bahwa pesanggrahan ini dulunya juga di gunakan oleh Sunan Mantingan untuk mengurusi kepentingan- kepentingan tertentu terutama kaitanya dengan penyebaran Agama Islam di Jepara hal ini di kaitkan dengan arti kata mantingan itu sendiri yang berarti pementingan.


sumber (Bpk Ali Syafi'i)

Sabtu, 11 Desember 2010

Sejarah Budaya Jepara Ratu Kalinyamat

0 komentar
Ratu Kalinyamat adalah putri Sultan Trenggono cucu dari Raden Patah yaitu Sultan Demak yang pertama. Nama aslinya masih menjadi perdebatan bahkan sampai sekarang belum terbukti kebenarannya, ada yang menyebutnya Ratu Arya Jepara, Ratu Kencana dan Raden Ayu Wuryani. Nama-nama tersebut di dasarkan pada penarikan nama dari silsilah da Raden Patah. Salah satu perkawinan Raden Patah yaitu dengan Puteri Cina, di anugerahi enam putra antara lain:

1. Ratu Mas,

2. Pangeran Sabrang Lor,

3. Pangeran Sedo Ing Lepen (Pangeran Sekar),

4. Pangeran Trenggono,

5. Raden Kaduruwan, dan

6. RadenPamekas
Setelah Raden Patah meninggal, Sultan Demak yang pertama digantikan oleh putranya yaitu Pangeran Sabrang Lor tetapi selang beberapa tahun Pangeran Sabrang Lor wafat. Sehingga tahta kerajaan yang seharusnya diserahkan kepada Pangeran Sedo Ing Lepen tetapi tahta kerajaan kemudian diserahkan kepada Sultan Trenggono. Hal ini di karenakan Pangeran Sedo Ing Lepen dibunuh oleh Sunan Prawoto.
Setelah penobatan Raden Thoyib bergelar Sultan Hadlirin menjadi Adipati Jepara, yang sekaligus merupakan pengampu dari putra mahkota Arya Panggiri, di karenakan putra mahkota belum dewasa. Penobatan Raden Thoyib tersebut kira-kira terjadi pada tahun 1536, dan tetap menjadikan Kalinyamat sebagai pusat pemerintahan di Kadipaten Jepara. Kekuasaan meliputi negeri Jepara, Pati, Rembang dan Juwana. Sementara itu Ratu Kalinyamat yang merupkan istri dari Raden Thoyib, setelah penobatan suaminyatersebut Ratu kalinyamat dalam bernegaraan lebih bersifat pendamping saja. Hampir semua urusan yang menyangkut pemerintahan diserahkan sepenuhnya kepada suaminya. Bahkan Patih Cie Wie Gwan, bekas ayah angkatnya di Tiongkok di undang dari tiongkok dan kemudian diangkat menjadi patih kerajaan, guna membantu pemerintahan Sultan Hadlirin.Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin pembangunan kerajaan mengalami kemajuan yang sangat pesat di berbagai bidang antara lain agama Islam, ekonomi perdagangan, sosial dan kebudayaan terutama seni ukir, pertahanan dan keamanan. Dalam menjalankan pemerintahannya di pusatkan di Kalinyamat sedangkan untuk tempat pesanggrahan atau peristirahatan dan pertapaan berada di desa Mantingan yang sekarang menjadi makam Ratu Kalinyamat dan keluarganya.Pesanggrahan di Desa Mantingan selalu dikunjungi oleh Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat apabila terdapat suatu masalah atau kepentingan. Desa Mantingan berasal dari kata pemantingan atau pementing yang artinya tempat yang sangat penting. Namun dari beberapa sumber dijelaskan Mantingan berasal dari kata Manting yang artinya pohon “Manting” atau “Salam”, tempat ini selalu dikunjungi oleh Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin serta Sunan Kalijaga.Agar pesanggrahan ini dapat dijadikan sebagai tempat peristirahatan maka dilengkapi dengan bangunan masjid. Dalam pembangunan masjid berbagai ornament dipercayakan kepada ayah angkatnya yang bernama Patih Cie Wie Gwan, yang memang memiliki keahlihan mengukir batu. Patih Cie Wie Gwan disuruh oleh Sultan Hadlirin untuk mencari ornament ukir-ukiran dari Tiongkok tetapi yang dibawa bukan ukir-ukiran melainkan hanya batu-batu putih. Batu-batu putih tersebut akhirnya diukir oleh masyarakat Desa Mantingan atas perintah dan bimbingan dari Patih Cie Wie Gwan. Dari keahlian sang Patih inilah maka diberi gelar “patih Sungging Badar Duwung” apabila diartikan sungging berarti ‘memahat” Badar berarti “batu’ ata “akik” sedangkan Duwung berarti “Tajam’ atau dalam bahasa Jawa berarti “Keris”. Sehingga keahlian mengukir ini sampai sekarang dijadikan sebagai mata pencaharian masyarakat desa Mantingan dan Industri mebel.Pembangunan masjid Mantingan ini ditandai dengan Cadrasengkala yang berbunyi “Rupa Brahmana Warna Sari” yang nilainya : “Rupa = 8, Brahmana = 4, Warna = 7 dan Sari = 1” jadi apabila dibalik menjadi 1748. Waktu ini menunjukkan masa pemerintahan Ratu Kalinyamat.
Setelah lama menikah Sultan Hadlirin dengan Ratu Kalinyamat belum dikaruniai putra sehingga menimbulkan kegelisahan. Usaha yang dilakukan yaitu mengambil putra angkat dari Sultan Hasanuddin Banten bernama Dewi Wuryan Retnowati, tetapi tidak lama kemudian meninggal dunia. Usaha Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadliri untuk tetap berkeinginan memiliki putra terus dilaksanakan demi kelangsungan keturunannya sehingga sang Ratu Kalinyamat menyuruh Sultan Hadliri menikah lagi. Ratu Kalinyamat rela dimadu dan demi untuk mendapatkan penerus kerajaan. Konon untuk mengurus perkawinan ini dilakukan oleh Ratu Kalinyamat sendiri dengan menjodohkannya pada Raden Ayu Probodinabar putri dari Kanjeng Sunan Kudus.Ini berarti selain perkawinan yang didasari oleh keinginan mendapatkan keturunan juga didasari perkawinan politik yaitu menguatkan kedudukan Sultan Hadlirin yang merupakan perpaduan dari dua kekuasaan besar.
Ketika di Demak terjadi krisis perebutan kekuasaan terjadilah serangkaian pembunuhan yang dilakukan oleh Sunan Prawoto, putra dari Sultan Trenggono terhadap “Pangeran Sekar” (Pangeran Sedo Ing Lepen) kakak kandung dari Sultan Trenggono. Oleh karena itu, yang diangkat sebagai sultan adalah Sultan Trenggono. Setelah Sultan Trenggono wafat kemudian Sunan Prawoto naik tahta menggantikan ayahandanya tetapi dalam waktu yang tidak lama kemudian Sultan Prawoto dibunuh oleh Arya Penangsang melalui tangan abdinya yang bernama Rungkut.Setelah Sunan Prawoto wafat, atas prakarsa mayoritas wali Sembilan diserahkan kepada menantu sultan Trenggono yang bernama Maskarebet atau Joko Tingkir. Setelah dinobatkan menjadi raja Demak Bintoro ia bergelar Sultan Hadiwijaya. Sultan Hadiwijaya kemudian memindahkan pusat kerajaanya dari Demak Bintoro ke Pajang pada tahun 1568 M yaitu daerah Tingkir tempat kelahirannya (di dekat Boyolali).
Tujuan memindahkan pusat kerajaan dari Demak Bintoro ke Pajang yaitu mendekati para pendukungnya di Tingkir serta menjauhi lawan-lawan politiknya. Joko Tingkir menjadi raja pertama dari kerajaan Pajang ini. Kedudukannya disahkan oleh Sunan Giri (seorang dari wali 9), dan segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk menghindari munculnya gejolak pasca penobatan Joko Tingkir sebagai sultan, di Demak Bintoro maka diangkatlah Arya Panggiri menjadi Adipati di Demak Bintoro / raja kecil namun umurnya masih terlalu muda sehingga dia menjadi “ Yuda Raja” / raja muda dan sebagai wali rajanya adalah Sultan Hadlirin yang berkedudukan di Jepara. Sultan Hadlirin kemudian memboyong kedua adiknya yaitu Rr. Ayu Semangkin dan Rr. Ayu Prihatin beserta harta kekayaan Kerajaan Demak.
Setelah tuntutan pengadilan atas terbunuhnya Sunan Prawoto tidak dikabulkan bahkan mendapatkan jawaban yang mengecewakan maka Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat segera undur diri bahkan tidak berpamitan dengan membawa perasaan kecewa. Sepulang dari pendopo “ndalem Sunan Kudus” Pangeran Hadlirin dan Ratu Kalinyamat dihadang oleh para Sorengpati-Sorengpati (Brutus / pembunuh bayaran) dan akhirnya Sultan Hadlirin di keroyok hingga terluka parah dan jiwanya tidak tertolong. Setelah terluka parah para ”abdi dalem” menyelamatkan jiwa Sultan Hadlirin dengan memapah/menandu untuk dibawa pulang ke kerajaan Kalinyamatan. Peristiwa itu berlangsung pada senja hari menjelang matahari terbenam (Jawa: ‘surup”).Peristiwa ini dijadikan sebagai momentum pemberian nama-nama desa yang dilalui oleh Sultan Hadlirin berdasarkan keadaan jasatnya seperti: Desa Damara yang berasal dari kata dammar “thing, uplik” / lampu teplok. Pada waktu itu telah banyak orang yang menghidupkan ‘damar”, sehingga disabda besok rejaning jaman desa ini akan diberi nama desa Damaran. Perjalanan dilakukan ke arah barat. Keadaan Sultan Hadlirin lukanya menganga dan mengeluarkan darah segar sehingga becek / “jember” sehingga disabda kelak akan menjadi desa Jember.Sultan Hadlirin dibawa atau ditandu ke arah barat keadaan lukanya semakinj parah berjalannya ‘merambat-rambat” sehingga diberi nama desa Perambatan. Dari kata “merambat”. Perjalanan terus dilanjutkan kea rah barat, kondisi fisik Sultan Hadlirin semakin kritis darah mengalir kesekujur tubuh. Para abdi dalem berusaha untuk membersihkan darah yang membasah disekujur tubuhnya agar bersih maka sesampainya di sebuah sungai berhenti sejenak untuk membasuh luka dan darah tersebut. Para abdi dalem merasa terpana setelah darah dan luka-lukanya dibersihkan karena air sungai berubah menjadi “wungu” sehingga disabda kelak menjadi desa Kaliwungu. Para abdi dalem yang memapah / menandu telah kepayahan sehingga sempoyongan maka di sabdanya kelak nanti “rejane jaman” menjadi desa Mayong. Dari kata sempoyongan sehingga menjadi Mayong. Perjalanan terus dilanjutkan namun suasana cuaca yang tidak bersahabat hujan dan angin turun lebat sehingga abdi dalem yang memapah / menandu terjatuh dan jasad Sultan Hadlirin jatuh di sungai dan hanyut menyangkut dikaki sebuah jembatan sehingga disabda kelak pada saat ramainya jaman akan menjadi Desa Karasak. Karasak berasal dari kata krasak-krasak jasad Sultan Hadlirin yang tersangkut di kaki jembatan airnya berbunyi krasak-krasak.Perjalanan terus dilanjutkan hingga sampai di istana Kalinyamatan dan jasad Sultan Hadlirin dikebumikan di Desa Mantingan Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara.Atas dasar peristiwa tersebut maka masyarakat desa yang berada disepanjang jalan Jepara mulai dari desa Damaran yang dilalui pertama kali oleh Sultan Hadlirin hingga desa Krasak masyarakatnya setiap tanggal 15 Ruah mengadakan tradisi Baro’atan yang maksud dan tujuannya adalah untuk mengenang, menghormati wafatnya Sultan Hadlirin dan memperingati hari jadi dari masing-masing desa tersebut dengan mengadakan selamatan / kenduri bersama dengan hidangannya yaitu nasi ambengan dan dilengkapi dengan juwadah puli yang ditaburu parutan kelapa serta apem di musolla-musolla, masji-masjid dan di balai desa-balai desa derta pemanjaran uplik di depan rumah-rumah penduduk. Selain itu juga untuk memeriahkan suasana diadakan pawai obor/oncor yang dilanjutkan tirakatan. Untuk memeriahkan suasana itu di Pasar Mayong diadakan pameran mobil-mobilan dari kertas dengan berbagai bentuk selama satu minggu.
Meninggalnya Sultan Hadlirin dan Sultan Prawoto membuat kepedihan yang mendalam dan kekalutan luar biasa dari Ratu Kalinyamat sehingga dia bersumpah akan mengadakan “Tapa Ngrawe” di Gunung Donoroso. Tapa Ngrawe artinya bertapa tanpa sehelai / selembar kainpun atau bertapa dengan tanpa memakai panji-panji / simbul kerajaan (meninggalkan segala bentuk kemewahan duniawi). Sumpah ini dilakukan sebagai bentuk protes dan meminta pengadilan dari Tuhan atas meninggalnya kedua orang yang sangat dicintainya. Pertapaannya ini tidak dapat diakhiri sebelum keramas darah, dan membersihkan / mengkesetkan telapak kakinya “dijambul” / rambut kepala Arya Penangsang sebagai balas dendam atas kematian Sultan Hadlirin dan Sultan Prawoto. Selain itu Ratu Kalinyamat juga bersayembara barang siapa yang dapat mengalahkan Arya Penangsang kalau perempuan akan diakui sebagai saudara “sinoro wedi” bila laki-laki akan diberikan kedua putera angkatnya yang bernama Rr. Ayu Semangkin dan Rr. Ayu Prihatin. Tindakan ini membingungkan Sultan Hadiwijaya yaitu kakak ipar dari Ratu Kalinyamat karena meninggalkan keraton sehingga Sultan Hadiwijaya berusaha untuk menemukan Sang Ratu. Akhirnya Sultan Hadiwijaya menemukan tempat pertapaannya dan meminta Ratu Kalinyamat pulang ke keraton tetapi menolak dan bersumpah sebelum berhasil membalaskan kematian dari kakak dan suaminya belum mau meninggalkan tempat pertapaannya. Dari perkataan tersebut Sultan Hadiwijaya berjanji akan berusaha untuk mewujudkan keinginan sang Ratu. Kemudian Sultan Hadiwijaya mengadakan pertemuan yang diikuti oleh Ki Panjiwa, Ki Pamanahan dan Ki Juru Mertani (Murid Sunan Kalijaga) dari pertemuan ini menghasilkan suatu kesepakatan serta mengatur strategi untuk menghadapi Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya mengadakan pengumuman yang isinya barang siapa yang dapat mengalahkan Arya Penangsang maka akan diberi hadiah bumi Pati dan Alas Mentaok (Mataram). Akhirnya sang putra angkat bernama “Sutawijaya” menyanggupi dan menjadi senapati perang ketika baru berumur 16 tahun.Untuk menghadapi Arya Penangsang maka diatur strategi yaitu dengan menantang Arya Penangsang melalui sepucuk surat yang diberikan oleh pekatik / juru pencari rumput dengan memotong telinganya. Telinga tersebut kemudian digantili dengan surat tantangan.Tukang pekatik Arya Penangsang dengan mengerang-ngerang kesakitan dan akhirnya mengadukan perihal surat tantangan ini bersama Patih Mataun. Dalam surat tantangan itu berbunyi “Hai apabila engkau seorang laki-laki sejati, ayo berperang-tanding. Jangan membawa wadya bala tentara, menyeberanglah di barat seberang sungai Bengawan Sore Caket, aku tunggu di situ”. Karena merasa mendapatkan tantangan maka Arya Penangsang mukanya merah padam meja didepannya ditendang hingga pecah berkeping-keping, sementara piring dan mangkok berhamburan kesana kemari, lalu berdiri dan menaiki kuda “Gagak Rimang” dengan membawa tombak “Dandang Mungsuh”. Sedangkan Sutawijaya sudah menunggu diseberang Kali Bengawan Sore Caket beserta 200 prajurit. Karena Kuda Gagak Rimang kuda jantan maka Sutawijaya menaiki kuda betina dengan warna putih bersih yang akhirnya Kuda Gagak Rimang menjadi binal dan naik birahinya sehingga mengejar Kuda Sutawijaya. Arya Penangsang tidak begitu menanggapi tantangan Sutawijaya bahkan memaki-makinya, “Hai Sutowijoyo, engkau anak kecil bukan tandinganku !”. mana Hadiwijoyo…manaa… akan kupenggal kepalanya. Pada kesempatan inilah Sutawijaya menggunakan kelengahan Arya Penangsang dengan melepaskan tombak Kyai Pleret ke arah perutnya.Arya Penangsang yang sakti mandraguna terluka, usunya terburai keluar kemudian mengalungkan usunya digagang kerisnya yang bernama “Brongot Setan Kober” sambil menantang “Hai Sutowijoyo engkau anak kecil bukan tandinganku, mana Hadiwijono…! Mana… Hadiwijoyo. Sutowijoyo mengetahui setelah Arya Penangsang terluka maka menjauhlah kudanya dan sambil meledek dan menantangnya, karena merasa diledek dan ditantang emosinya tidak terkontrol akhirnya Keris Brongot Setan Kober dihunus dari warangkanya dan mengenai ususnya sendiri hingga akhirnya Arya Penangsang Tewas. Kematian Arya Penangsang tewas disampaikan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Ratu Kalinyamat. Sejak saat itu Ratu Kalinyamat mengakhiri masa pertapaannya dan berkemas kembali ke istana kerajaan. Sejak sekembalinya Ratu Kalinyamat, Keraton Kalinyamatan kembali di urus oleh Sang ratu sampai akhir hayatnya. Dan disemayamkan di samping suaminya. Konon cerita mistim makam ratu kalinyamat sebagai makam mempercepat jodoh.
Sumber (id.wikipedia.org)